Pasal 25 Ayat 1-3 UUD No 36 Tahun 1999
Bagian Ketujuh
tentang Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25 1-3
ayat
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan
interkoneksi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
Ayat
(2) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi
apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi Iainnya.
Ayat
(3) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan berdasarkan prinsip :
a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perangkat
telekomunikasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling
merugikan.
Contoh Penerapannya :
Kebijakan
interkoneksi berbasis biaya telah diamanatkan oleh Peraturan Menteri Kominfo
No. 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi, dan telah dijalankan oleh para
penyelenggara telekomunikasi, khususnya untuk layanan telekomunikasi berbasis
suara. Khusus layanan SMS, pada saat itu para penyelenggara sepakat untuk
menggunakan skema Sender Keep All (SKA) alias terminasi SMS tidak berbayar
(artinya pihak penyelenggara telekomunikasi yang menerima SMS tidak memperoleh
tarif, karena sepenuhnya adalah hak penyelenggara yang mengirimkan SMS). Hal
ini dikarenakan anggapan trafik SMS yang akan relatif seimbang karena secara
natural, pengguna akan saling berbalas SMS.
Namun
demikian, seiring berjalannya waktu, para penyelenggara kemudian memanfaatkan
skema SKA ini untuk melakukan perang promosi SMS kepada pengguna, yaitu
memberikan bonus SMS atau layanan SMS gratis baik untuk trafik On-Net maupun
Off-Net. Sekilas dampak menarik dari keadaan ini adalah masyarakat diuntungkan
dengan layanan SMS gratis. Akibatnya trafik SMS meningkat.
Beberapa
oknum yang tidak bertanggung jawab bahkan menggunakan kesempatan ini untuk
perbuatan yang merugikan orang lain, seperti SMS Spam, bahkan penipuan dan
cyber crime lainnya. Yang lebih merasakan kerugiannya adalah penyelenggara yang
kebanjiran trafik SMS dari penyelenggara lain dan tidak sepeserpun mendapatkan
pendapatan dari penggunaan jaringan mereka (terminasi incoming SMS from other operators).
Padahal, penggunaan jaringan tentu membutuhkan biaya operasioal. Trafik SMS pun
jauh menjadi tidak seimbang. Hal ini tentunya menjadi tidak adil bagi
penyelenggara.
Karena
itu pada pertemuan tanggal 11 Desember 2011 yang lalu Kementerian Kominfo dan
BRTI mengambil kebijakan untuk kembali menggunakan skema terminasi berbayar
berdasarkan biaya (cost-based termination charge). Kementerian kominfo dan BRTI
juga memberikan kesempatan bagi para penyelenggara untuk mempersiapkan diri
menjelang pelaksanaan interkoneksi SMS berbasis biaya yang dimulai tanggal 1
Juni 2012.
Adapun
besaran biaya terminasi Rp 23,- / SMS adalah merupakan biaya yang harus
dibayarkan penyelenggara yang mengirimkan SMS kepada penyelenggara yang
menerima SMS sebagai hak penyelenggara yang menerima dalam menyalurkan trafik
SMS tersebut kepada penggunanya. Angka Rp 23,- / SMS merupakan hasil
perhitungan biaya interkoneksi SMS pada tahun 2010 yang dilakukan oleh
konsultan independen yang membantu Kementerian Kominfo dan BRTI . Perhitungan
biaya interkoneksi dilakukan dengan menggunakan formula perhitungan Forward
Looking Long Run Incremental Cost Bottom Up (FL-LRIC BU) model yang diamanatkan
oleh Peraturan Menteri Kominfo No. 8 Tahun 2006. Model perhitungan ini juga
digunakan oleh negara-negara lain di dunia dan dengan tujuan:
-
Memacu penyelenggara telekomunikasi untuk
lebih efisien.
-
Mendorong tumbuhnya industri
telekomunikasi di Indonesia.
-
Penyelenggara telekomunikasi baru tidak
dibebani biaya sebagai akibat inefisiensi dari penyelenggara telekomunikasi
lainnya.
-
Setiap penyelenggara telekomunikasi
menmpunyai pilihan membangun atau menyewa jaringan dari penyelenggara lain
dalam melakukan interkoneksi.
-
Metode ini sudah digunakan secara
internasional pada industri yang kompetitif.
Hasil
perhitungan biaya terminasi SMS pada tahun 2010 yaitu Rp 23 ,- /SMS merupakan
batas atas bagi penyelenggara yang terkategorikan penyelenggara jaringan dengan
pendapatan usaha ( operating revenue ) 25% atau lebih dari total pendapatan
usaha seluruh penyelenggara jaringan dalam segmentasi layanannya, atau lebih
dikenal dengan istilah penyelenggara dominan. Penyelenggara tersebut adalah PT
Tel kom dan PT Tel komsel . Namun, kompetisi dalam industri membentuk angka Rp
23 ,- /SMS menjadi angka referensi terminasi SMS yang digunakan dalam
berinterkoneksi antar penyelenggara.
Biaya
terminasi SMS yang merupakan biaya dari penggunaan jaringan telekomunikasi
adalah salah satu komponen dari tarif retail yang dikenakan penyelenggara
kepada pengguna (masyarakat). Komponen lainnya adalah biaya aktifitas retail,
seperti promosi, marketing dan sebagainya, serta margin keuntungan yang diambil
oleh penyelenggara.
Sebagai
contoh, ketika aturan SKA masih berlaku, tarif SMS dari operator C misalnya
untuk off net misalnya  sebesar RP 150,- Angka sebesar Rp 150,- tersebut sudah
terdapat biaya interkoneksi dan biaya retail activity, sehingga tarif Rp 150,-
/ SMS tersebut yang dikirimkan oleh pelanggan operator C yang dikirimkan kepada
operator lain menjadi milik operator C sepenuhnya. Sebaliknya dengan skema SMS
berbasis biaya, apabila penyelenggara X mengenakan tarif Rp 150/SMS kepada
penggunanya, misalnya si A, maka penyelenggara tersebut akan membayarkan Rp
23/SMS kepada penyelenggara tujuan SMS, misalnya penyelenggara Y, untuk
menyalurkan trafik SMS tersebut kepada penggunanya, misalnya si B.
Penyelenggara X mendapatkan Rp 127/SMS, yang di dalamnya terdapat komponen
penggunaan jaringan misalnya Rp 23/SMS, biaya aktifitas retail (Retail Service
Activity Cost – RSAC) misalnya Rp 50/SMS dan keuntungan misalnya Rp
54/SMS. Â
Kebijakan
Kementerian Kominfo ini bertujuan memberikan keadilan bagi industri, tepatnya
bagi penyelenggara yang jaringannya digunakan untuk menyalurkan trafik SMS
sehingga iklim kompetisi industri telekomunikasi dapat menjadi lebih baik.
Kebijakan ini juga diharapkan akan dapat mengurangi SMS yang tidak diinginkan
(Spam) dan penipuan lewat SMS yang selama ini telah banyak merugikan
masyarakat.
Kementerian
Kominfo tidak berwenang menaikkan tarif retail SMS, karena yang diatur dalam UU
No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, khususnya Pasal 28 hanya menyebutkan,
bahwa besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Sebaliknya Kementerian Kominfo terus mendorong penyelenggara untuk lebih
efisien dalam menyediakan layanan kepada masyarakat, tanpa mengurangi standar
kualitas. Biaya terminasi Rp 23/SMS juga sudah turun dari Rp 26/SMS pada hasil
perhitungan tahun 2007 yang lalu. Dengan kebijakan Kementerian Kominfo ini yang
diterapkan dalam iklim kompetisi yang sudah efektif, terutama di pasar retail
dengan tingkat persaingan tarif yang tinggi, maka para penyelenggara diharapkan
dapat meningkatkan kualitas layanannya agar dapat terus bersaing dengan
penyelenggara dan layanan lain. Hal ini tentunya akan memberikan manfaat baik,
bagi industri maupun masyarakat pengguna.
Apabila
ada penyelenggara yang akan menaikkan tarif retailnya, maka itu menjadi
strategi bisnis mereka. Namun pemerintah akan terus mengevaluasi tarif retail
yang diberlakukan penyelenggara. Namun akibat kompetisi yang sangat ketat dan
belum lagi terhgitung dengan alternatif lain bagi konsumen untuk menggunakan
akses data yang makin lama makin murah (seperti BBM dan Whatsapp), maka
diperkirakan setiap penyelenggara telekomunikasi cukup berhati-hati untuk
menerapkan tarif pungut yang harus dibayarkan oleh setiap konsumen.
Sumber
: http://www.postel.go.id/info_view_c_26_p_1878.htm
0 komentar: